By : Anselmus Dore Woho Atasoge
Staf Pengajar pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Bagi kaum beriman Katolik, bulan Oktober menjadi bulan yang spesial. Gereja sejagad mengkhususkan bulan Oktober sebagai bulan Rosario, bulan yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria, Bunda Yesus, Bunda Allah (yang dalam terminologi teologi disebut theotokos).
Pengkhususan ini memiliki historisitasnya. Pertempuran di Laut Ionia yang dikenal dengan nama pertempuran Lepanto tahun 1571 menjadi titik starnya. Kala itu negara-negara Eropa yang bersatu dalam Liga Suci (Holy League) diserang kerajaan Ottoman, Turki. Agama Kristen dalam keadaan genting dan terancam punah.
Pasukan Kristen di Spanyol, Genoa dan Venesia kalah jumlah dengan pasukan Turki. Don Juan dari Austria, komandan armada Katolik, mendaraskan doa Rosario demi memohon pertolongan Bunda Maria. Seruan untuk berdoa Rosario pun dikumandangkan di seluruh Eropa. Pada 7 Oktober 1571, Paus Pius V bersama-sama umat di basilika Santa Maria Maggiore berdoa Rosario demi keselamatan para pasukan. Meski terlihat mustahil, tetapi pada akhirnya kemenangan ada di tangan pasukan Liga Suci. Paus Pius V pun menetapkan 7 Oktober sebagai peringatan Rosario. Kemudian Paus Gregorius XII menetapkan 7 Oktober sebagai Hari Raya Rosario Suci.
Di bulan ini, theotokos menjadi pusat perhatian. Banyak renungan dan refleksi tentang Sang Tokoh tidak hanya dikumandangkan melainkan juga diinternalisasi oleh kaum beriman Katolik. Perhatian dan internalisasi tidak berhenti pada titik subjektivikasi (hal yang tampak kelihatan saja). Lebih dari itu, sang theotokos dihadirkan sebagai ‘mediatrix’ (perantara).
Tentang hal itu, Santo Bernardus dari Clairvaux, seorang Doktor Gereja, adalah seorang pendukung kuat interpretasi mediatrix dalam diri Maria menegaskan Tuhan dan dunia fana bertemu di dalam dirinya. Kehidupan kudus mengalir melalui dirinya ke seluruh penciptaan. Maria adalah satu dengan Yesus yang ingin menyelamatkan semua manusia dan yang menebarkan semua rahmat melalui dirinya. Maria adalah Sang Perantara ke Tuhan, sebuah tangga yang bisa digunakan oleh para pendosa untuk mendaki mendekati-Nya, jalan megah menuju Tuhan, karena dirinya penuh rahmat.
Sejumlah tokoh dari kalangan non-Katolik pun memiliki perspektif tentang Sang Bunda. Kata kunci perspektif tersebut adalah ‘Maria penghubung agama-agama’. Pada awal tahun 2013, di Jerusalem sekelompok agamawan dari Islam, Kristen dan Yahudi, yang semuanya laki-laki, berkumpul untuk memuji seorang perempuan – Bunda Maria/Maryam, ibunda Yesus/Nabi Isa – dan menemukan makna bersama melaluinya dalam konteks upaya bina damai (ucanews/07/012013). Maria, yang merupakan seorang Yahudi dan ibunda dari Putra Tuhan bagi orang Kristen, jugalah salah satu perempuan yang paling disanjung dalam Islam. Sebuah surah dalam Alquran pun menyandang namanya.
Perjumpaan di Yerusalem tersebut merupakan bagian dari kegiatan sebuah organisasi yang bermarkas di Inggris, The Mary Initiative. Organisasi ini bertujuan menyatukan orang-orang melalui pemahaman dan perasaan mereka tentang Bunda Maria. Pendiri prakarsa ini adalah mantan jurnalis Ingrid Stellmacher.
Stellmacher mengatakan bahwa memfokuskan perbincangan pada arti penting Bunda Maria mengatasi hambatan “sekadar bicara” tentang dialog antariman dan perdamaian. Dari refleksinya, Stellamacher bersaksi bahwa Maryam membawa orang-orang ke meja dialog karena belas kasih dan respek yang ia tunjukkan. Posisi seperti inilah yang membuat Maria bisa menghubungkan para peserta dialog, baik laki-laki maupun perempuan.
Perjumpaan di Yerusalem tersebut merupakan bagian dari kegiatan sebuah organisasi yang bermarkas di Inggris, The Mary Initiative. Organisasi ini bertujuan menyatukan orang-orang melalui pemahaman dan perasaan mereka tentang Bunda Maria. Pendiri prakarsa ini adalah mantan jurnalis Ingrid Stellmacher.
Stellmacher mengatakan bahwa memfokuskan perbincangan pada arti penting Bunda Maria mengatasi hambatan “sekadar bicara” tentang dialog antariman dan perdamaian. Dari refleksinya, Stellamacher bersaksi bahwa Maryam membawa orang-orang ke meja dialog karena belas kasih dan respek yang ia tunjukkan, dan dengan begitu bisa menghubungkan para peserta dialog, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan sebelum mereka mulai bicara.
Misalnya, sekelompok perempuan Somalia terkejut mengetahui kalau Maria itu dari bangsa Yahudi. Menurut Stellmacher, keterkejutan epistemologis itu juga terjadi dengan berbagai kelompok berbeda di seluruh dunia. Dalam konteks tertentu, kesadaran tersebut melahirkan obrolan dengan para perempuan Yahudi tentang isu-isu gender yang memengaruhi kedua kelompok. Pada titik ini dapat ditegaskan bahwa ketertarikan global pada Bunda Maria menandakan bahwa ia dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai budaya dan wilayah: dari Inggris hingga Amerika Serikat, Tanzania, Kenya dan Yaman.
Gereja Paroki San Juan Lebao Dekenat Larantuka Keuskupan Larantuka mengawali perziarahannya bersama Sang Bunda di bulan Rosario, Senin/02/10/2023, melalui ekaristi bersama seluruh umatnya. Salah satu point menarik dari pengkhotbah, RD. Yoan Odel, dalam perayaan ekaristi tersebut adalah peranan Sang Bunda sebagai pembawa sukacita dalam seluruh dukacita kemanusiawiaan dunia. Di momen ‘perkawinan di Kana’, Sang Bunda menghadirkan sukacita tatkala sang Tuan Pesta kehabisan stok anggur. Campur tangan Sang Bunda di hadapan Sang Putera yang turut hadir dalam momen itu ‘menyelamatkan suasana’ pesta. Air diubah jadi anggur oleh Sang Putera.
Sang Bunda, Sang theotokos serentak menjadi tokoh yang inklusif tidak hanya untuk komunitas internal melainkan juga bagi komunitas eksternal. Pribadi yang inklusif selalu mengarahkan seluruh dirinya kepada keselamatan, kepentingan, dan sukacita yang universal.
Berziarah bersama Sang Bunda di bulan Rosario setidak-tidaknya menjadikan para peziarah mengambil bagian dari misi sukacita Sang Bunda. Para pemimpin yang berjiwa kristiani, para politikus kristiani yang namanya sudah terpampang sebagai caleg, para umat beriman yang selalu khusyuk di kaki Sang Bunda, semestinya jiwanya tak lari jauh dari jiwa inklusif Sang Bunda. Sang theotokos, “doakan kami yang berdosa ini, sekarang dan pada waktu kami mati!”***