Oase Kehidupan, Rabu: 13 maret 2024
Teks : Yes 49:8-15; Mzm 145:8-9.13c-14.17-18; Yoh 5:17-30
KATA ‘LUPA’ merupakan pengalaman manusiawi yaitu menurunnya kemampuan atau karena tidak fokus saja pada sesuatu! Seorang ibu dapat melupakan anak kandungnya sendiri! Kondisi hidup keluarga terpecah dapat menjadi alasan untuk lebih berkonsentrasi pada pilihan hidup baru lalu melupakan yang lain. Banyak anak terlantar karena orangtua meninggalkan tanggungjawabnya. Orang mudah memasuki kehidupan perkawinan dan keluarga namun tidak setia. Faktor penyebab sering karena ‘orang belum mampu berpikir dan bertanggungjawab’ untuk pilihan hidupnya sendiri! Banyak orang bisa hidup namun malas berpikir dan merefleksikan hidupnya sendiri! Justru kemampuan yang terberi itu tidak mereka kembangkan untuk menjadikan hidup bermakna! Perlu keheningan untuk berpikir dan berefleksi tentang hidup dan panggilan. Dalam keheningan untuk berpikir dan berefleksi itu manusia bertemu dengan Dia yang tidak pernah akan melupakan kita! Nubuat Yesaya mengajak kita membudayakan keheningan,yaitu saat rahmat untuk berpikir dan berefleksi di hadapan Sang Hening, yang tidak pernah akan melupakan kita! Dewasa ini di tengah hingar-bingarnya kehidupan, ternyata ada sesuatu yang kita lupakan yaitu keheningan! Hendaknya kita membudayakan keheningan yang hilang atau terlupakan untuk berpikir dan merenung tentang panggilan, tugas dan tanggungjawab kita membangun tata dunia menurut kehendak Allah sendiri!
Hanya dengan cara itu kita menghadirkan Allah yang selalu ‘rimember’, selalu ingat akan manusia pada hari Ia berkenan, selalu siap menolong pada hari Ia menyelamatkan! (Yes 49:8-15) Apakah kita sedang melupakan saat penuh rahmat yaitu keheningan untuk berpikir dan berefleksi agar hidup menjadi lebih bermakna? Pemazmur memberi kesaksian, buah dari keheningan untuk berpikir dan merenungkan kehidupan yaitu ada kesabaran, ada kerendahan hati, ada kasih setia, ada keadilan, kebenaran dan damai sejahtera! Betapa pentingnya membudayakan keheningan agar keutamaan dalam diri Allah itu sungguh – sungguh meresapi kehidupan kita, memberdayakan kemampuan kita dalam berpikir dan berefleksi tentang hidup dan panggilan kita! (Mzm 145:8-9.13c-14.17-18) Apakah kita memiliki intensitas relasi dengan Allah dalam budaya keheningan, dalam doa dan karya pelayanan kita? Orang Yahudi mulai membenci Yesus dengan alasan Ia melanggar aturan hari Sabat! Sebenarnya hari Sabdat itu ‘saat untuk beristirahat’. Kita memaknai ‘istirahat’ dalam artian ‘saat kita masuk dalam keheningan untuk berpikir dan berefleksi, saat untuk melakukan evaluasi tentang hidup kita, saat untuk bersyukur! Dengan berpikir dan berefleksi kita belajar melakukan pekerjaan Allah dan bukan pekerjaan kita! Yesus mengajarkan makna hari sabat sebagai saat untuk belajar melakukan pekerjaan Bapa-Nya sendiri, yaitu karya cintakasih kepada mereka yang sakit, terlantar, tersingkir dan terlupakan! Kita dapat saja hidup dalam kebencian karena kita sedang memperagakan sesuatu secara lahiriah. Saatnya kita masuk dalam budaya keheningan agar karya-karya pelayanan kita sungguh membatin dan bermakna di hati banyak orang! (Yoh 5:17-30) Apakah karya pelayanan kita pelayanan kita membatin dan bermakna di hati banyak orang atau sekedar mempertontonkan yang lahiriah untuk kesenangan sesaat? Sejauhmana saya memaknai firman Tuhan ‘Aku tidak akan melupakan engkau?’ (RD Antonius Prakum Keraf)***