
Waikilok, Lembata — Sukacita dan haru menyelimuti hati umat Katolik di wilayah Waikilok, Dekenat Lembata, Keuskupan Larantuka, saat menyambut kehadiran Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, dalam rangka peresmian Paroki Santo Yosep Waikilok. Upacara penyambutan ini berlangsung pada Sabtu, 12 Juli 2025 di depan Gereja Santo Yosep Waikilok.
Kedatangan Mgr. Fransiskus disambut secara adat dan meriah oleh ratusan umat, tokoh masyarakat, tokoh adat, serta para imam dan biarawan-biarawati. Suasana syukur dan kebanggaan tampak dalam wajah umat yang telah lama menantikan momentum bersejarah ini — terbentuknya sebuah paroki mandiri yang sebelumnya merupakan wilayah stasi dari paroki Santa Maria Benneaux Lewoleba.
Acara penerimaan diawali dengan sapaan adat dan pengalungan selendang tenun ikat kepada Yang Mulia Uskup, Romo Vikjen Keuskupan Larantuka, RD Gabriel Unto da Silva, Romo Deken Lembata, RD Philipus da Gomez, Romo Sekejen Keuskupan Larantuka, RD Fransiskus Kwaelaga, Ketua Komisi Kerawam Keuskupan Larantuka, RD Thomas Darang Labina sebagai simbol penghormatan dan kasih umat. Dalam suasana penuh sukacita akhirnya Bapa Uskup Larantuka bersama rombongan diarak dalam tarian memasuki ruangan Gereja Santo Yosep Waikilok untuk dilanjutkan dengan pertemuan bersama dengan umat.
Dalam sambutannya saat pertemuan bersama dengan umat Paroki Waikilok, Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung, menyampaikan sejumlah pesan penting terkait arah pastoral dan tantangan ke depan bagi paroki yang baru dibentuk tersebut.
Di hadapan para imam, biarawan-biarawati, serta umat Paroki Waikilok, Uskup menekankan bahwa meskipun menjadi paroki baru membawa tantangan, namun hal itu sekaligus membuka peluang besar untuk membangun kehidupan menggereja yang lebih terarah, terutama dalam penataan Kelompok Basis Gereja (KBG) sebagai lokasi dan fokus pelayanan pastoral.
“Paroki baru pasti punya tantangan, bukan hanya dalam hal iman, tetapi juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Tapi justru dari sinilah kita bisa mulai menata KBG secara lebih jelas dan efektif,” ungkap Mgr. Fransiskus.
Uskup menyoroti pentingnya tiga pilar kemandirian yang harus dibangun di tingkat paroki, yaitu:
- Kemandirian spiritual – umat harus tumbuh dalam iman dan kesadaran hidup menggereja.
- Kemandirian personil – umat diajak untuk terlibat aktif dalam pelayanan, yang dimulai dengan penataan struktur Dewan Pastoral Paroki (DPP) dan pengurus-pengurus KBG.
- Kemandirian ekonomi/finansial – keluarga-keluarga Katolik serta unit-unit KBG didorong untuk berkembang secara ekonomi demi menopang hidup Gereja yang berkelanjutan.
Terkait kemandirian ekonomi, Uskup menekankan pentingnya membangun ekonomi keluarga yang kuat sebagai dasar untuk membangun gereja. Beliau mendorong umat memanfaatkan kehadiran lembaga keuangan seperti CU Caritas dan CU Sinar Saron untuk mendukung pengembangan ekonomi di tingkat basis.
“CU yang ada seperti CU Caritas dan CU Sinar Saron harus masuk ke dalam KBG. Dorong supaya menjadi kekuatan ekonomi umat di tingkat bawah. Sistem bisa diatur, asal ada niat dan kerja bersama,” tegasnya.
Lebih lanjut, Mgr. Fransiskus juga memberikan peringatan tentang gaya hidup yang harus ditata. Ia menekankan perlunya budaya hemat, menghindari pemborosan, terutama dalam pesta-pesta sakramen, serta menolak kebiasaan berutang, apalagi utang demi keperluan konsumtif dan pesta.
“Jangan hidup terus-menerus dengan utang. Apalagi kalau utang hanya untuk pesta. Ini kebiasaan yang harus kita ubah,” katanya mengingatkan.
Dalam hal penataan KBG, Uskup menyarankan agar jumlah anggota dalam satu KBG dibatasi idealnya antara 10 sampai 15 kepala keluarga, dengan toleransi maksimal hingga 20 KK. Tujuannya agar relasi antaranggota menjadi lebih erat dan pelayanan menjadi lebih efektif.
“KBG yang kecil justru lebih efektif. Orang bisa saling mengenal dan saling mendukung,” tambahnya.
Sambutan Uskup ini memberikan arah yang jelas bagi umat Paroki Santo Yosep Waikilok dalam menata hidup menggereja mereka ke depan — hidup dalam iman yang mendalam, keterlibatan yang aktif, serta kemandirian yang bertumbuh secara holistik: spiritual, struktural, dan ekonomi.