(sebuah catatan sisipan dari Forum Liturgi Asia ke-24)
Yohanes Hans Monteiro (IFTK Ledalaro)
Anselmus DW Atasoge (STIPAR Ende)
Pada tanggal 18–22 September 2025, Forum Liturgi Asia ke-24 diselenggarakan di Rumah Retret Kemah Tabor, Mataloko, Ngada, Indonesia. Kegiatan ini dihadiri oleh delegasi dari tujuh negara yakni Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan, Indonesia, Filipina, dan Timor Leste. “Liturgi dan Harapan bagi Ibu Bumi yang Terluka” menjadi tema yang diperbincangkan dalam semangat sinodalitas dan persaudaraan lintas budaya. Sebuah tema yang dipandang mendesak dan penuh harapan.

Dok. Komsos KAE: Perayaan ekaristi penutupan Forum Liturgi Asia ke-24
Sebagai seorang pendidik dan yang tak terbebaskan dari liturgi, kami melihat forum ini bukan sekadar pertemuan rutin. Ini merupakan sebuah momentum profetik yang menyerukan pertobatan ekologis dan pembaruan spiritual bagi Gereja Katolik di Asia. Dalam konteks bencana ekologis yang semakin sering melanda kawasan Asia (banjir, gempa, hingga perubahan iklim), liturgi tidak lagi berurusan dengan ‘ruang-ruang sakral’.
Thomas Berry, seorang ahli ekologi dan teolog budaya asal Amerika Serikat, dalam The Great Work (1999), menyatakan bahwa “kita tidak akan pernah memahami alam semesta jika kita melihatnya hanya sebagai kumpulan objek. Alam semesta adalah komunitas subjek yang saling berelasi.” Pandangan ini menggugah kita untuk meninggalkan paradigma lama yang memisahkan spiritualitas dari ekologi, dan mengajak agama-agama, termasuk tradisi liturgis, untuk membentuk kesadaran ekologis yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks Asia yang sarat bencana ekologis, Berry mengilhami kita untuk memahami liturgi sebagai tindakan kosmik, sebuah perayaan iman yang menyatukan manusia, alam, dan Tuhan dalam relasi yang saling menghidupi. Liturgi yang hidup bukan hanya berlangsung dalam ruang sakral, tetapi melampaui tembok gereja dan menjangkau luka bumi, menjadi kekuatan transformatif yang membangkitkan harapan dan pertobatan ekologis.
Karena itu, di hadapan fakta ekologis, liturgi tidak bisa lagi dipahami hanya sebagai ritus sakral yang berlangsung di dalam gereja. Ia harus ‘terjelma’ ke dalam dan menjadi tindakan kenabian yang menghubungkan pujian kepada Sang Pencipta dengan tanggung jawab konkret terhadap ciptaan.
Pada titik ini, Forum di Mataloko ini menegaskan bahwa liturgi yang tidak menyentuh luka bumi adalah liturgi yang kehilangan daya transformasinya. Sebaliknya, liturgi yang dirayakan dengan kesadaran ekologis menjadi partisipasi dalam rekonsiliasi kosmik Kristus, yang menurut Kolose 1:15 adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan” dan yang mendamaikan seluruh ciptaan melalui salib-Nya. Karena itu, pertemuan ini menyerukan bahwa ritus, doa, dan simbol liturgis harus mencerminkan tanggung jawab ekologis. Singkatnya, memuji Allah berarti juga merawat bumi.
Sebagai salah satu implementasinya ditegaskan tentang pentingnya pendidikan ekologis. Pertemuan ini memandang bahwa pendidikan ekologis dalam Gereja harus dimulai dari akar. Seminari, sekolah Katolik, dan rumah formasi religius perlu menjadi ‘laboratorium kehidupan ekologis’. Formasi iman yang integral harus menyentuh kesadaran ekologis, membentuk gaya hidup yang selaras dengan semangat Laudato Si’. Forum ini memandangnya sebagai inti dari spiritualitas Kristiani masa kini.
Ekaristi, sebagai pusat liturgi, sudah mengandung pedagogi ekologis. Roti dan anggur adalah buah bumi dan karya manusia. Ketika kita mempersembahkannya, kita diingatkan bahwa ciptaan adalah anugerah sekaligus tanggung jawab. Karena itu, tahun liturgi, homili, lagu-lagu, dan devosi harus menjadi ‘ruang katekese ekologis’ yang membangkitkan kesadaran dan menggerakkan tindakan nyata.
Pertobatan ekologis bukanlah pilihan, melainkan keniscayaan. Ia bersifat pribadi dan komunal, dan harus diwujudkan dalam tindakan konkret: mengurangi limbah, melindungi keanekaragaman hayati, dan berdiri bersama mereka yang paling terdampak. Gereja tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus diajak untuk bersama-sama menyelamatkan rumah bersama kita.
“Dampak dari pelanggaran terhadap lingkungan hidup terutama dirasakan oleh kaum miskin paling rentan…. Mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim atau untuk menghadapi bencana alam yang kian sering terjadi”. Demikian tegas Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (Art. 25). Lebih dalam lagi, Paus Fransiskus menegaskan bahwa: “Pasar sendiri tidak dapat menjamin pembangunan manusia yang inklusif dan berkelanjutan” (Laudato Si’, 109).
Pernyataan ini memperlihatkan bahwa pertobatan ekologis tidak cukup dilakukan secara individual atau sektoral. Ia menuntut kolaborasi lintas sektor, antara Gereja, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil, untuk membangun tata kehidupan yang berkelanjutan dan adil. Dalam terang iman, tindakan ekologis adalah bentuk nyata dari cinta kepada sesama dan penghormatan kepada Sang Pencipta.
Dalam semangat sinodalitas, para uskup Asia telah mengidentifikasi alam sebagai ‘mitra dialog baru’, sejajar dengan budaya, agama, dan kaum miskin. Ciptaan bukanlah latar belakang yang bisu, melainkan suara yang berseru bersama umat manusia. Dalam spiritualitas Asia yang menghargai harmoni kosmik, suara alam adalah suara Tuhan.
Di titik ini, forum liturgi ini memandang bahwa inkulturasi liturgis menjadi jalan penting untuk mewartakan Injil secara kontekstual. Dengan menggali kearifan lokal yang menghormati alam dan tanah, Gereja dapat menjadikan seruan ekologis Paus Fransiskus lebih dapat dipahami dan dihayati. Inkulturasi bukan sekadar estetika, melainkan spiritualitas yang menyentuh akar budaya dan menyatukan Misteri Paskah dengan pengalaman hidup masyarakat Asia.
Sebagai bagian dari Gereja Katolik di Indonesia, kami percaya bahwa liturgi yang hidup dan kontekstual dapat menjadi kekuatan transformatif. Ia bukan hanya merayakan iman, tetapi juga mengutus umat untuk bertindak. Dalam setiap perayaan, kita diundang untuk menjadi Peziarah Harapan, berjalan bersama Kristus menuju pembaruan seluruh ciptaan.
Kami teringat akan pemikiran Mgr. Ignatius Suharyo. Dalam pidatonya pada Sidang KWI tahun 2019, beliau menyatakan: “Liturgi yang baik bukan hanya indah secara estetis, tetapi juga menyentuh hati, membentuk sikap, dan menggerakkan umat untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil dalam dunia nyata.”
Pernyataan ini memperkuat keyakinan bahwa liturgi bukan sekadar perayaan iman yang tertutup di dalam gereja, melainkan panggilan untuk menjadi saksi Kristus di tengah dunia. Ketika liturgi dirayakan secara kontekstual dengan bahasa, simbol, dan keprihatinan lokal, ia menjadi kekuatan yang membangkitkan harapan dan menggerakkan solidaritas. Di dalam dan melaluinya, segenap umat Katolik dipanggil untuk menjadikan setiap perayaan liturgi sebagai titik tolak menuju pembaruan ciptaan, keadilan sosial, dan perdamaian. Liturgi yang hidup adalah liturgi yang mengutus.***