KOMUNITAS BASIS GEREJAWI (KBG): Pilar atau Strategi? Potentia atau Actus?

Berita, Majalah, News207 Dilihat

Larantuka – Ketua Dewan Pastoral Paroki Santa Maria Banneux Lewoleba, Fransiskus Limawai Koban (Fery Koban), yang turut diminta hadir sebagai konsultan ahli dari unsur awam, menyampaikan pandangan reflektif terkait hasil Evaluasi Program Pastoral Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka, pada kegiatan Lokakarya Tahun Evaluasi 2025 PJPT III Keuskupan Larantuka (21/11/2025) di Gedung OMK, Multi Event Hall, Sarotari Larantuka. Dalam pemaparannya, ia mengajak seluruh peserta lokakarya kembali menengok pijakan dasar pastoral yang telah ditetapkan sejak Sinode VII (10–13 Oktober 2019), yakni visi besar Gereja Lokal Keuskupan Larantuka sebagai “Gereja Umat Allah yang Mandiri dan Misioner.”

Foto: Peserta Lokakarya Evaluasi Program Pastoral Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Visi tersebut tidak lahir tiba-tiba, melainkan dirumuskan dari pergumulan panjang, merangkum aspirasi umat dan perjalanan pastoral sejak PJPT I dan II dalam masa kepemimpinan Mgr. Fransiskus Kopong Kung. Empat misi utama tetap menjadi roh gerakan pastoral: membangun kemandirian Gereja, menghidupkan KBG sebagai komunitas iman dan gerakan, meneguhkan Gereja misioner yang dialogis, serta memastikan KBG menjadi ruang perjuangan dan transformasi.

Fery Koban menegaskan bahwa sejak 2020 Keuskupan telah memiliki “road map” PJPT III yang memayungi lima bidang besar: Program Pastoral, Tata Kelola, Lembaga-Lembaga, Harta Benda Gereja, serta Pedoman dan Panduan. Namun, keberhasilan tiap bidang ternyata menunjukkan dinamika yang berbeda.

Foto: Peserta Lokakarya Evaluasi Program Pastoral Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Dalam refleksinya, Fery mengajak seluruh peserta melihat kembali perjalanan panjang Komunitas Basis Gerejani (KBG). Istilah ini telah berkembang dalam sejarah kegembalaan Keuskupan Larantuka: dari “Kontas Gabungan”, lalu “Umat Basis”, hingga kini “KBG”. Dalam PJPT I, ia disebut “pilar pastoral”, sementara di PJPT II dan III ia menjadi “strategi pastoral”.

Pertanyaan penting pun muncul: Jika KBG adalah “potentia”, apa “actus”-nya? Apakah evaluasi kali ini sudah menemukan wujud konkret gerak KBG yang benar-benar hidup, bertumbuh, dan berdaya? Menurut Koban, ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi seluruh Gereja Lokal.

Di bidang Program Pastoral, Keuskupan dinilai berhasil menjaga fokus melalui tema tahunan: Tahun Agen Pastoral (2020), Tahun Keluarga (2021), Tahun OMK (2022), Tahun Ekologi (2023), Tahun KBG dan Kelompok Kategorial (2024), hingga Tahun Evaluasi (2025). Hampir semua indikator tercapai, meskipun masih ada tantangan seperti animator yang minim, beberapa AP belum memahami tupoksi, serta keterlibatan OMK yang belum merata.

Namun, bidang Lembaga-Lembaga, Harta Benda Gereja (HBG), Pedoman dan Panduan, serta Fungsi Tata Kelola (POACC) memperlihatkan persoalan serius. Banyak struktur keuskupan belum berfungsi optimal, pedoman kerja belum tersedia lengkap, pengelolaan HBG belum standar, hingga mekanisme audit yang nyaris tidak berjalan. Bahkan di banyak tempat umat belum memahami perangkat keuskupan dan fungsinya. Fery menegaskan bahwa justru bidang-bidang inilah yang merupakan tugas utama Hierarki dan struktur resmi Keuskupan. Ketertinggalannya dikhawatirkan menimbulkan salah kaprah di tingkat umat.

Foto: Peserta Lokakarya Evaluasi Program Pastoral Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Dalam rangkumannya, Fery menyoroti empat hal yang perlu mendapat perhatian serius: (1) Keseimbangan peran Umat dan Hierarki. Evaluasi menunjukkan gerak umat lebih cepat ketimbang struktur Hierarki. Jika keduanya tidak seimbang, capaian pastoral akan timpang. (2) Kehadiran Gereja dalam tata dunia. Unit karya Keuskupan diminta tidak hanya berfungsi sebagai sumber finansial, tetapi juga menjadi wajah pastoral Gereja di tengah dunia yang penuh dinamika, termasuk di sektor-sektor yang rawan, seperti pengelolaan SPBU atau usaha ekonomi lain. (3) Urgensi Tim Advokasi Gereja. Seruan Para Uskup Regio Nusra yang menolak Geothermal telah menjadi kabar gembira bagi umat yang bergerak dalam advokasi. Namun, Gereja perlu melanjutkannya dengan membentuk tim advokasi di semua tingkatan agar suara Gereja tidak berhenti pada seruan saja. (4) Kemitraan dengan Pemerintah Daerah. Menurut Koban, Keuskupan perlu membangun kolaborasi strategis dengan pemerintah Flotim dan Lembata. Jika umat dan masyarakat adalah orang yang sama, Gereja dan pemerintah seharusnya dapat merancang program yang saling menguatkan.

Foto: Peserta Lokakarya Evaluasi Program Pastoral Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Di akhir refleksinya, Fery menegaskan bahwa membangun Gereja yang mandiri dan misioner membutuhkan hubungan sinergis antara umat dan Hierarki. Gereja tanpa Hierarki adalah Gereja tanpa arah, dan Gereja tanpa umat adalah Gereja yang kering dan kultis. Ia mengajak seluruh peserta bergerak “dari Altar ke Pasar”, menghadirkan Gereja di tengah dunia nyata, sehingga Gereja Lokal Keuskupan Larantuka sungguh menjadi Gereja yang hidup, relevan, mandiri, dan misioner. (Koban)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *