EVALUASI PJPT III KEUSKUPAN LARANTUKA: RD. Gabriel Unto da Silva Tekankan Pentingnya Kehadiran Gereja dalam Tata Dunia

Berita, Majalah, News310 Dilihat

Larantuka – Lokakarya Evaluasi Program Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka yang digelar di Gedung OMK, Multi Event Hall, Sarotari, pada 21 November 2025, menjadi ruang diskusi yang hangat dan penuh refleksi. Di hadapan para imam, biarawan-biarawati, serta perwakilan Dewan Pastoral Paroki (DPP) se-Keuskupan dan utusan berbagai kelompok kategorial, Vikaris Jenderal Keuskupan Larantuka, RD. Gabriel Unto da Silva (Romo Geby), menyampaikan catatan eklesiologis dan mengajak Gereja Lokal Keuskupan Larantuka untuk menengok kembali kehadiran dan peranannya di tengah dunia.

Peserta Lokakarya Evaluasi Program Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Sejak awal, Romo Geby menyampaikan apresiasi besar kepada tim penyusun laporan evaluasi. Baginya, laporan tersebut ditata rapi dan menunjukkan konsistensi metodologis melalui penggunaan POACC yang memudahkan pembacaan capaian pastoral secara objektif. Indikator yang jelas dan alur kerja yang terstruktur memperlihatkan bahwa evaluasi dikerjakan dengan keseriusan dan tanggung jawab. Namun, ia segera mengingatkan bahwa metode tidak boleh menjadi tujuan. Evaluasi pastoral tetap harus menjadi proses rohani: ruang untuk membaca gerak Roh Kudus, menafsir dinamika umat, serta membedakan mana yang paling mendesak untuk dijawab Gereja.

Masuk ke bagian reflektif, Romo Geby menyoroti kecenderungan laporan evaluasi yang masih berfokus ke dalam. Ia menyebut dokumen tersebut “eklesiosentris”, karena perhatian lebih banyak diarahkan pada tata kelola internal, struktur keuskupan, paroki, komunitas kategorial, hingga kehidupan biara. Ia tidak menolak bahwa aspek-aspek itu penting. Namun Gereja, tegasnya, tidak pernah tinggal hanya dalam dirinya. Gereja hidup di dunia, berinteraksi dengan masyarakat yang nyata, dan setiap hari umat awam, dalam profesi, pergumulan sosial, dan perjumpaan antarbudaya, membawa serta terang iman ke wilayah-wilayah tata dunia.

Peserta Lokakarya Evaluasi Program Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Sebab itu, Romo Geby mendorong agar suara dan pengalaman umat awam mendapat ruang lebih besar, baik dalam evaluasi maupun perencanaan pastoral. Mereka yang berkarya di sekolah, rumah sakit, pelayanan sosial, pemerintahan lokal, bisnis, maupun gerakan lingkungan sebenarnya menjadi wajah pertama Gereja di tengah masyarakat. Di sanalah kehadiran Gereja sungguh diuji dan ditampakkan, bukan hanya melalui dokumen program atau pertemuan internal.

Dalam refleksinya, Romo Geby juga menekankan bahwa misi bukan sekadar salah satu program tahunan, melainkan roh yang menggerakkan seluruh kehidupan Gereja. Romo Geby mengenang kembali pernyataan Mgr. Gaudenzio, Uskup Lipa, bahwa misi merupakan dinamika spiritual yang memberi arah bagi seluruh pelayanan. Namun ia menilai spirit misi tersebut belum tampak kuat dalam laporan evaluasi. Misalnya, penyebutan Komunitas Basis Gerejani (KBG) sebagai “gerakan” belum disertai gambaran tentang daya ubah KBG dalam masyarakat. “Kalau disebut gerakan, maka harus tampak daya geraknya,” ujarnya. Networking, kolaborasi, dan kerja lintas bidang bukan sekadar strategi teknis, tetapi bagian dari mandat Injil.

Dalam perspektif yang lebih teologis, Romo Geby mengingatkan bahwa Gereja bukanlah Kerajaan Allah itu sendiri, melainkan tanda dan benihnya. Gereja harus tetap rendah hati, merawat keterbukaan, dan bekerja sama dengan siapa pun yang memperjuangkan kebaikan bersama. Ia menyinggung pesan Paus Fransiskus tentang bahaya “narsisme lokal”, ketertutupan yang dapat mengerdilkan identitas Gereja dan budaya. Sebaliknya, keterbukaan justru menguatkan misi Gereja untuk menyembuhkan luka-luka kemanusiaan.

Peserta Lokakarya Evaluasi Program Jangka Pendek Tahap III (PJPT III) Keuskupan Larantuka.

Romo Geby kembali meneguhkan gambaran Gereja sebagai “Rumah Sakit Lapangan” : tempat bagi mereka yang terluka, rapuh, atau tersisih untuk menemukan pelukan belas kasih. Dalam konteks ini, aturan tidak boleh menjadi tembok pertama; yang utama ialah kehadiran yang menyembuhkan.

Menutup refleksinya, Romo Geby mengajak seluruh peserta lokakarya untuk kembali menempatkan Kristus sebagai pusat setiap gerak pastoral. Evaluasi PJPT III, tegasnya, harus menjadi momentum pembaruan orientasi, agar Gereja lokal semakin misioner, dialogis, dan benar-benar hadir sebagai terang Kristus dalam tata dunia yang terus berubah. Dengan demikian, lokakarya evaluasi PJPT III, ini bukan sekadar forum teknis, melainkan langkah bersama untuk membaca tanda-tanda zaman dan memperteguh komitmen Gereja membangun dunia yang lebih adil dan bersaudara. (@sly)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *