Anselmus Dore Woho Atasoge
Dalam Minggu Biasa ke-23, Minggu 7 September 2025, segenap umat Katolik diajak merenungkan makna mendalam dari sebuah pemuridan, sebuah panggilan untuk mencintai Allah secara total dan menata ulang seluruh relasi hidupnya. Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan mengingatkan bahwa manusia, dalam kelemahan dan keterbatasannya, tidak mampu memahami kehendak Allah tanpa bimbingan Roh Kudus. “Siapa gerangan dapat mengenal kehendak-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan kebijaksanaan, dan jika Roh Kudus-Mu tidak Kau-utus dari atas?” Sabda ini menjadi pintu masuk untuk memahami perkataan Yesus dalam Injil hari ini. Perkataan yang terdengar keras, namun menyimpan undangan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Yesus, dalam perjalanan menuju Yerusalem untuk menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib, menyampaikan syarat pemuridan yang mengejutkan: “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudarinya, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.” Tentu Yesus tidak mengajarkan kebencian literal, melainkan menegaskan bahwa kasih kepada Tuhan harus menjadi kasih yang utama dan pertama. Kasih kepada keluarga dan diri sendiri harus tunduk pada kasih kepada Allah. Ketika seseorang berani mencintai Tuhan secara total dan rela mengurbankan segalanya demi Kristus, ia justru menjadi berkat besar bagi orang tua, keluarga, dan banyak orang lain. Kasih yang berakar dalam Allah meluap menjadi kasih yang menyelamatkan sesama. Pemuridan bukanlah penolakan terhadap orang-orang tercinta, melainkan penataan cinta yang benar dari sumber kasih sejati, yaitu Allah sendiri.
Yesus tidak menutupi kenyataan bahwa mengikuti-Nya menuntut pengorbanan. Ia mengajak kita untuk menghitung harga pemuridan, seperti orang yang hendak membangun menara atau raja yang hendak berperang. “Demikianlah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan diri dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.” Pemuridan bukan sekadar ikut-ikutan, melainkan keputusan sadar untuk menyerahkan hidup sepenuhnya kepada Tuhan. Kita dipanggil untuk melepaskan keterikatan duniawi dan hidup dalam kebebasan rohani yang sejati.
Surat Paulus kepada Filemon menjadi contoh nyata dari pemuridan yang berbuah kasih dan keadilan. Paulus, yang sedang dipenjara, membela Onesimus seorang budak pelarian yang telah bertobat dan menjadi Kristen. Ia meminta Filemon menerima Onesimus bukan sebagai budak, tetapi sebagai saudara seiman. Lima puluh tahun kemudian, sejarah mencatat bahwa Onesimus menjadi Uskup Efesus dan mati sebagai martir. Betapa ajaib karya Tuhan! Dari budak pelarian menjadi gembala umat. Inilah buah pemuridan yang sejati: transformasi hidup yang membawa terang Kristus ke dunia.
Dalam konteks politik nasional dan daerah saat ini, refleksi pemuridan ini menjadi sangat relevan bagi para pejabat publik dari kalangan komunitas Katolik di mana saja pun berada. Di tengah gejolak sosial, demonstrasi, dan ketegangan akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, sabda Yesus menjadi cermin tajam bagi para pemimpin dan warga negara. Pemuridan menuntut keberanian untuk melepaskan keterikatan pada kekuasaan dan harta, serta menata ulang cinta dan komitmen kita kepada kebenaran dan keadilan. Ketika tunjangan pejabat dinaikkan di tengah penderitaan rakyat, kita diingatkan bahwa pemimpin yang sungguh murid Kristus akan menata ulang cintanya: bukan pada jabatan atau privilese, tetapi pada kesejahteraan rakyat.
Kitab Kebijaksanaan menyatakan bahwa hanya dengan Roh Kudus kita dapat mengenal kehendak Allah. Dalam situasi demokrasi yang sedang diuji, kebijaksanaan ilahi menjadi kebutuhan mendesak. Demonstrasi yang meluas bukan hanya ekspresi kemarahan, tetapi juga jeritan akan ketidakadilan struktural. Pemuridan mengajak kita untuk tidak reaktif, tetapi reflektif menghitung harga perjuangan dengan strategi kasih dan keberanian moral. Surat Paulus kepada Filemon menghadirkan narasi transformatif: dari budak menjadi saudara, dari pelarian menjadi pemimpin rohani. Dalam konteks kerusuhan dan polarisasi sosial yang terjadi di berbagai daerah, kita diajak untuk melihat sesama bukan sebagai musuh politik, tetapi sebagai saudara seiman dan sebangsa. Rekonsiliasi sosial yang berakar dalam kasih Allah adalah jalan keluar dari spiral kekerasan dan dendam.
Pemuridan bukan sekadar spiritualitas pribadi, tetapi etika publik. Ia menuntut keberanian untuk menolak kompromi dengan ketidakadilan, dan kesediaan untuk memikul salib dalam bentuk advokasi, pendidikan, dan pelayanan. Dalam situasi di mana generasi muda didorong untuk menjadi pengisi utama Indonesia Emas 2045, pemuridan menjadi formasi karakter yang paling mendasar: mencintai Allah secara total, dan dari sana, mencintai bangsa dengan tulus dan adil. Dengan merujuk pada inspirasi sabda Tuhan di hari Minggu ini, kita diajak bukan hanya menjadi murid Kristus dalam doa, tetapi juga dalam politik, ekonomi, dan budaya. Pemuridan adalah revolusi kasih yang menata ulang relasi, menolak ketidakadilan, dan membangun masa depan yang berakar dalam kebijaksanaan ilahi. Jika bangsa ini ingin benar-benar maju, maka pemimpin-pemimpinnya harus terlebih dahulu menjadi murid bukan murid kekuasaan, tetapi murid Kristus yang rela kehilangan segalanya demi kebenaran dan kasih.***