“Langkah Cinta di Lereng Kasih: Jejak Romo Pius di Pegunungan Lerek”
Anselmus Dore Woho Atasoge
Di pegunungan Lerek yang diselubungi kabut abadi dan hawa dingin yang menyusup hingga sumsum, sebuah bayang-bayang bersahaja menyusuri jalur berbatu, menapaki jalan sempit yang hanya dikenal oleh kaki yang penuh kasih. Itulah Romo Pius Laba Buri, seorang gembala tanpa lelah, yang menjadikan medan terjal sebagai altar pelayanan dan udara pegunungan sebagai nafas pengabdian.

Ia tidak datang dengan sorotan atau semarak seremoni. Ia hadir seperti embun pagi—diam, lembut, dan menyejukkan. Ia memilih menjadi bagian dari denyut kehidupan umat: duduk di tikar pandan, makan ubi rebus, dan mendengarkan kisah-kisah sederhana dengan mata berbinar.
“Seorang gembala harus mengenal domba-dombanya,” kata Paus Fransiskus. Maka Romo Pius pun mengenal siapa yang pandai menyulam langkah dalam karya pastoral, siapa yang suka tertawa pelan saat malam doa, siapa yang selalu duduk di kursi belakang gereja saat ekaristi, dan siapa yang diam-diam menyimpan harapan agar anaknya bisa mengenyam pendidikan.
Kehadirannya tumbuh seperti akar pepaya di kebun: tidak mencolok namun menguatkan. Ia tak mewajibkan umat datang kepadanya—dialah yang datang. Dengan tubuh yang lelah namun hati menyala, ia menyapa dari dusun ke dusun, dari stasi ke stasi yang tak ramah jalan-jalannya karena ditumbuni bebatuan bahkan ketika kabut belum bubar dan ayam belum berkokok.
Ia menggagas rumah pastoran bukan sekadar untuk tempat tinggal, tapi tempat berteduh bagi doa, dialog, dan cita-cita. Dari sana, lahir semangat membangun Gua Maria—sebuah oasis doa yang kini menjadi jantung spiritual umat, berdiri di lereng dengan megah dalam kesahajaan.
Bukan sekadar membangun fisik, ia menghidupkan semangat. Bapak-bapak dan ibu-ibu dipanggil untuk menggereja, anak-anak diajak bermain sambil mengenal kisah para kudus, para pemuda dibangkitkan semangatnya untuk mengolah karakter beradab demi masa depan yang lebih indah. liturgi.
Dalam setiap keheningan misa pagi, terdengar suara lembutnya mengucap doa bagi umat yang sakit, untuk kebun yang butuh hujan, atau untuk anak rantau yang jauh. Dalam setiap berkatnya, terselip niat luhur agar setiap umat merasa diperhitungkan dan dicintai.
Lerek yang jauh dari keramaian bukan alasan untuk menyerah. Jalan berbatu bukan penghalang baginya, tapi kesempatan untuk berbagi senyum dan meyakinkan: Kasih Allah tak pernah jauh. Jika kendaraan tak mampu menembus tanjakan, maka kakinya yang akan melanjutkan misi.
Ia tidak menunggu sesuatu menjadi sempurna baru mulai bergerak. Bagi Romo Pius, tindakan kecil yang dikerjakan dengan cinta adalah kekuatan Gereja yang sesungguhnya. Ia menanam harapan, dan memeliharanya dalam liturgi harian, dalam obrolan di kebun, dan dalam puisi hidup yang ditulis dari kasih.
Di akhir hari, ia menyalakan lilin di kapela kecil, duduk dalam sunyi sambil menyebut satu per satu nama umatnya dalam doa. Tak ada publikasi, tak ada tepuk tangan. Hanya pelita yang terus menyala, menuntun siapa pun yang ingin pulang ke rumah Tuhan.
Dalam langkah-langkahnya, Gereja menemukan denyut kehidupan. Dalam keramahannya, umat mengenal kehadiran Kristus. Dan dalam jejaknya, Lerek kini memiliki gua ziarah, rumah pastoran, dan yang paling penting—ingatan akan kasih yang pernah hadir tanpa pamrih.
Di pegunungan yang senyap, kasih itu terus bergema. Bukan dalam nyaring suara, tetapi dalam bisikan angin yang menyapa daun-daun kakao dan kopi, dalam rentangan tangan di altar kudus yang tak pernah usai. Semua itu adalah puisi hidup yang ditulis Romo Pius dengan setiap langkah dan peluhnya.
Terima kasih Romo Pius untuk cinta dan kasih yang tak pernah lekang dari ingatan.***
(Ende, 18 Juni 2025)
Tinggalkan Balasan